cover
Contact Name
Nur Hamid
Contact Email
elnur.hamid@walisongo.ac.id
Phone
+6285733036860
Journal Mail Official
ihyaulumaldin@walisongo.ac.id
Editorial Address
Kantor Pascasarjana, Jalan Walisongo Nomor 3-5, Kota Semarang 50185, Jawa Tengah, Indonesia
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din
ISSN : 14113708     EISSN : 25805983     DOI : -
International Journal IhyaUlum al-Din is an Indonesian journal of Islamic Studies published biannually by the State Islamic University (UIN) Walisongo Semarang Indonesia. The journal was firstly published in March 2000, presented in three languages (English, Arabic, and Indonesian). The journal focuses on Islamic studies with special emphasis on Indonesian Islamic original researches.
Arjuna Subject : -
Articles 12 Documents
Search results for , issue "Vol 19, No 2 (2017)" : 12 Documents clear
KEBIJAKAN RUANG PUBLIK PEREMPUAN DI SAUDI ARABIA: Benarkah Sebuah Agenda Politik Double Interest? Roji, Fatkhur
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 19, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (134.107 KB) | DOI: 10.21580/ihya.19.2.2162

Abstract

The emergence of the Saudi government's policy of allowing women to drive alone these days has become an interesting phenomenon to be examined, since before they forbid women to drive without a mahram. Since the appointment of the crown prince Salman bin Abdul Aziz, the Saudi government appears more dynamic and moderate. This new policy is in place to promote the development of the country with and to give women the right to participate freely in it. Observers see this as a political agenda of government, where with the political interest is expected Saudi Arabia can compete in the increasingly tight global economic competition. This article examines the policies of the Saudi Arabian government thoroughly from a social, economic, and political standpoint.Munculnya kebijakan pemerintahan Saudi Arabia yang membolehkan perempuan untuk berkendara sendiri akhir-akhir ini menjadi fenomena yang menarik untuk diteliti, sebab sebelumnya mereka melarang perempuan berkendara tanpa mahram. Semenjak diangkatnya putera mahkota Salman bin Abdul Aziz, pemerintahan Saudi tampil lebih dinamis dan moderat. Kebijakan baru ini diberlakukan untuk meningkatkan perkembangan negara dengan dan untuk memberikan hak terhadap perempuan agar dapat berperan bebas di dalamnya. Para pengamat melihat ini sebagai agenda politik pemerintahan, dimana dengan kepentingan politik tersebut diharapkan Saudi Arabia dapat ikut bersaing dalam kompetisi ekonomi global yang semakin ketat. Artikel ini mengamati kebijakan pemerintah Saudi Arabia ini secara menyeluruh dari sudut pandang sosial, ekonomi, dan politik.
KONTRIBUSI TEORI IBN AL-SHĀṬIR DALAM PERKEMBANGAN TRADISI ILMIAH ASTRONOMI ISLAM Sakirman, S; Shabir, Muslich
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 19, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (255.452 KB) | DOI: 10.21580/ihya.19.2.2161

Abstract

This paper traces the roots of the scientific tradition of astronomy in a classical century that marked the rise of Islamic civilization in the midst of Western darkness in a philosophical-historical perspective. The study focussed on translation activities in the eighth century to the peak of astronomical scientific activity that is divided into two major schools; the astronomical-mathematical school of the East and the astronomical-philosophical schools of the Western world to the Islamic Caliphate. The Greek astronomical tradition is basically dominated by Aristotelian thought that states that the universe is organized into a set of concentric spheres each carrying a star and spinning around the earth. The Earth is still and becomes the center of the universe. Ptolemy adopted the two basic principles of Aristotle, ie the earth dwells at the center of the universe and the motion of heavenly bodies must be represented by a set of perfectly uniform circular motions. From the results of historical studies on the development of Muslim astronomy in the classical century can be seen that the peak of scientific progress in the Western world can not be separated from the point of zenit for the advancement of science developed by Muslim scientists. Efforts made by Western scientists in enriching the astronomical treasury is inseparable from the step of translation through intensive scientific studies that gave birth to a variety of monumental works in the history of astronomy.Tulisan ini melacak akar tradisi ilmiah astronomi pada abad klasik yang menandai majunya peradaban Islam di tengah-tengah kegelapan Barat dalam perspektif historis-filosofis. Kajian difokuskan pada aktivitas penerjemahan pada abad kedelapan hingga puncak kegiatan ilmiah astronomis yang terbagi dalam dua mazhab besar; mazhab astronomis-matematis di Timur dan mazhab astronomis-filosofis di dunia Barat pada kekhalifahan Islam. Tradisi astronomi Yunani pada dasarnya didominasi pemikiran Aristotelian yang menyatakan bahwa alam semesta diatur menjadi satu set bola konsentris masing-masing membawa bintang dan berputar di sekitar bumi. Bumi berposisi diam dan menjadi pusat alam semesta. Ptolemeus mengadopsi kedua prinsip dasar Aristoteles tersebut, yaitu bumi diam di pusat alam semesta dan gerak benda-benda langit harus diwakili oleh satu set gerakan melingkar sempurna yang seragam. Dari hasil kajian historis atas perkembangan astronomi muslim pada abad klasik dapat diketahui bahwa puncak kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Barat tidak lepas dari titik zenit atas kemajuan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh ilmuwan Muslim. Upaya yang dilakukan ilmuwan Barat dalam memperkaya khazanah astronomi tidak terlepas dari langkah penerjemahan melalui pengkajian ilmiah yang intensif sehingga melahirkan berbagai karya-karya monumental dalam sejarah astronomi.
TAFSIRAN KIAI PESANTREN TERHADAP BAIT-BAIT ALFIYAH IBN MALIK DAN TRANSFORMASI NILAI MORAL SANTRI: Kajian Intertekstualitas dan Analisis Wacana Kritis Jaeni, Muhamad
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 19, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (478.743 KB) | DOI: 10.21580/ihya.19.2.2510

Abstract

One of the most phenomenal grammatical books in Indonesian pesantren is Kitab Alfiyah Ibn Malik. The book was arranged in the form of poetry, which consists of 1002 poems. This book is studied with rote methods. Many santri are able to memorize a thousand poems. Uniquely, many kiai who often make that poem as a proposition of other sciences such as fiqh, tasawuf, and morals. This study focuses on the phenomenon of interpretation of the grammatical poems among Arab scholars and Islamic scholars in Indonesia. Besides this study also observes patterns and mechanisms interpreting Alfiyah poems as a linguistic study and constructing moral values santri in boarding school. This study used intertextual method and critical discourse analysis. The data are analyzed by Norman Fairlough’s content analysis and critical discourse. This study found that the book Alfiyah Ibn Malik taught in the boarding school not only memorized by the students but also interpreted by the kiai to the philosophical meaning. The interpretation of the kiai on Alfiyah's poems is very broadly encompassing religious values i.e. honesty, discipline, hard work, independence, creativity, democracy, homeland love, social concern, and responsibility.Salah satu buku gramatikal yang sangat fenomenal di pesantren Indonesia adalah kitab Alfiyah Ibn Malik. Kitab ini disusun dalam bentuk syair, yang terdiri dari 1002 sajak. Di pesantren Indonesia, kitab ini dikaji dengan motode hafalan. Banyak para santri yang mampu menghafal seribu sajak itu. Uniknya, banyak para kiai yang seringkali menjadikan sajak-sajak itu sebagai dalil dari ilmu-ilmu lain seperti fiqh, tasawuf, dan akhlak. Kajian ini mengamati fenomena tafsiran sajak-sajak gramatikal itu di kalangan ulama Arab dan kiai pesantren di Indonesia. Selain itu kajian ini juga mengamati pola dan mekanisme menafsirkan sajak-sajak Alfiyah sebagai kajian kebahasaan dan penanaman nilai-nilai moral santri di pondok pesantren. Metode yang digunakan meliputi metode intertekstual dan analisis wacana kritis. Adapun teknik analisis data yang yang digunakan adalah content analysis (analisis isi) dan analsis wacana (critical discourse) Norman Fairlough. Dari hasil peneltian ini ditemukan bahwa kitab Alfiyah Ibnu Malik yang diajarkan di pondok pesantren tidak hanya dihapal oleh para santri tapi juga ditafsirkan oleh para kiai kepada makna filosofis. Penafsiran para kiai atas sajak-sajak Alfiyah ini sangat luas mencakup nilai-nilai agama, kejujuran, kedisiplinan, kerja keras, kemandirian, kreativitas, demokrasi, cinta tanah air, kepedulian sosial dan tanggung jawab.
RELASI JINN DAN AL-INS DALAM AL-QUR’AN: Kajian Semantik Toshihiko Izutsu Afandi, Zamzam; Shodiq, Ja’far
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 19, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (667.908 KB) | DOI: 10.21580/ihya.19.2.2159

Abstract

The Qur’an often calls the word jinn coupled with the word al-ins as God’s creatures in different forms. Based on that, the author tried to unravel the problem by studying basically the words jinn and al-ins in the Qur’an and then linking both of them in Toshihiko Izutsu’s semantic theory. The study begins by searching for the basic meaning and relational meaning as the foundation for finding welthansauung or worldview of the word jinn and al-ins in the Qur'an. The study found that the word jinn in the Qur'an has a closed meaning, similar to the root of majnūn, jannah, and janīn. Likewise, the relational meaning of the jinn described in the Qur'an both relating to the ancients before the coming of Islam, the jinns are shaitan, ifrit, angels, superhuman beings, worshiped beings, demons, and the maker of misfortune someone. As for the basic meaning of the word al-ins, the same as insān, basyar, the sons of adam, ‘abd Allah, even al-ins as the representative word of man in the Qur'an can be interpreted shaitan as in surah al-nās which states that shaitan derived from the genie and the human race. The discussion of the ontological and communicative relations between jinn and al-ins in the Qur’an, it is mentioned that jinn and humans are truly God’s creatures created from different elements. These two creatures can establish communication because there is an explanation in the Qur’an, as it did in the time of Adam, Sulayman and Prophet Muhammad saw.Al-Qur’an kerap menyebut kata jinn bersanding dengan kata al-ins sebagai makhluk Allah yang berbeda wujud. Berangkat dari itu, peneliti mencoba mengurai permasalahannya dengan cara mengkaji secara dasar kata jinn dan al-ins dalam al-Qur’an dan kemudian mengkaitkan keduannya menggunakan teori semantik Toshihiko Izutsu. Kajian dimulai dengan mencari makna dasar dan makna relasional sebagai dasar menemukan welthansauung atau pandangan dunia terhadap kata jinn dan al-ins dalam al-Qur’an. Penelitian ini menemukan bahwa kata jinn dalam al-Qur’an mempunyai makna tertutup, sama dengan akar kata dari majnūn, jannah maupun janīn. Begitu juga tentang makna relasional terhadap jin yang dijelaskan dalam al-Qur’an baik yang berkaitan dengan orang-orang dahulu sebelum datangnya Islam, jin adalah syaitan, ifrit, malaikat, makhluk yang mempunyai kekuatan super, makhluk yang disembah, iblis, dan pembuat kesialan seseorang. Adapun makna dasar kata al-ins, sama seperi insān, basyar, bani adam, ‘abd Allah, bahkan al-ins sebagai kata yang mewakili manusia dalam al-Qur’an bisa diartikan syaitan seperti dalam suran al-nās yang menyatakan bahwa syaitan itu berasal dari golongan jin dan manusia. Pembahasaan tentang relasi ontologis dan komunikatif antara jinn dan al-ins dalam al-Qur’an, disebutkan bahwa jin dan manusia adalah benar-benar makhluk Allah yang diciptakan dari unsur yang berbeda. Kedua makhluk ini bisa menjalin komunikasi karena ada penjelasan dalam-al-Qur’an, seperti halnya yang terjadi pada zaman Nabi Adam, Nabi Sulaiman sampai Nabi Muhammad saw.
RASIONALISME ISLAM KLASIK DALAM PEMIKIRAN IBNU RUSYD Kholis, Nur
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 19, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (339.368 KB) | DOI: 10.21580/ihya.19.2.2160

Abstract

This article is aimed at showing how the rationalism of Islamic thought has been well-ordered in the classical period. It also tries to describe Ibn Rushd’s philosophy with an explanation of the dialectic of thought and the background and impact of its influence. The dominance of orthodoxy in the classical era encouraged Ibn Rushd to think “antagonistically” about how to implement Islam rationally. The political situation in the Islamic world during the period of the Abbasid Daula also colored the dynamics of Islamic thought at that time; particularly the dialectic between the genuine currents of Islamic thought and Greek philosophy. In the philosophy of Ibn Rushd, some characteristics of Islamic rationalism can be found: (1) opposing the fatalism of belief and thought; (2) uniting the revelation (religion) and the reason (philosophy); (3) prioritizing the work of mind/takwil in solving all problems; (4) believing in the eternality of universal reason (al-‘aql al-fa’al).Artikel ini bertujuan menunjukkan betapa rasionalisme pemikiran Islam telah tertata kuat pada masa klasik. Artikel ini juga berupaya memaparkan filsafat Ibnu Rusyd yang disertai penjelasan mengenai dialektika pemikiran serta latar belakang dan dampak pengaruhnya. Dominasi pemikiran ortodoksi pada era klasik mendorong Ibnu Rusyd berpikir “antagonistik” tentang bagaimana berislam yang rasionalis. Situasi politik di dunia Islam pada masa Daulah Abbasiyah turut mewarnai dinamika pemikiran Islam saat itu; khususnya dialektika antara arus pemikiran Islam genuine dan filsafat Yunani. Dalam fisafat Ibnu Rusyd, dapat ditemukan beberapa karakteristik rasionalisme pemikiran Islam, yaitu: (1) menentang fatalisme keyakinan dan pemikiran; (2) menyatukan wahyu (agama) dan akal (filsafat); (3) mengutamakan kerja akal / takwil dalam menyelesaikan segala persoalan; (4) meyakini kekekalan akal universal (al-‘ql al-fa’al).
RELASI NILAI NASIONALISME DAN KONSEP HUBBUL WATHAN MINAL IMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM Ibda, Hamidulloh
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 19, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (58.726 KB) | DOI: 10.21580/ihya.19.2.1853

Abstract

This article aims to find out the concept of hubbul wathan minal imanand nationalism in Islamic education. It also describes the genealogy of nationalism and hubbul wathan minal iman, the dynamics of the anti-nationalism group, and the character of nationalism in Islamic education. The findings in this article indicate the character of nationalism is very influential on the resilience of the nation, one of them through the program strengthening character education established by the government. In that program, there is a character of the spirit of nationalism and love of the homeland as a form of hubbul wathan minal iman that can be applied by all Islamic educational institutions to maintain the spirit of nationalism.Artikel ini bertujuan untuk mengetahui konsep hubbul wathan minal iman dan nasionalisme dalam pendidikan Islam. Selain itu juga mendeskripsikan genealogi nasionalisme dan hubbul wathan minal iman, dinamika kelompok antinasionalisme, dan karakter nasionalisme dalam pendidikan Islam. Temuan dalam artikel ini menunjukkan karakter nasionalisme sangat berpengaruh terhadap ketahanan bangsa, salah satunyamelalui program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang ditetapkan pemerintah. Dalam progam itu, terdapat karakter semangat kebangsaan dan cinta tanah air sebagai wujud hubbul wathan minal iman yang bisa diterapkan semua lembaga pendidikan Islam untuk menjaga ruh nasionalisme.
KEBIJAKAN RUANG PUBLIK PEREMPUAN DI SAUDI ARABIA: Benarkah Sebuah Agenda Politik Double Interest? Fatkhur Roji
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 19, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (134.107 KB) | DOI: 10.21580/ihya.19.2.2162

Abstract

The emergence of the Saudi government's policy of allowing women to drive alone these days has become an interesting phenomenon to be examined, since before they forbid women to drive without a mahram. Since the appointment of the crown prince Salman bin Abdul Aziz, the Saudi government appears more dynamic and moderate. This new policy is in place to promote the development of the country with and to give women the right to participate freely in it. Observers see this as a political agenda of government, where with the political interest is expected Saudi Arabia can compete in the increasingly tight global economic competition. This article examines the policies of the Saudi Arabian government thoroughly from a social, economic, and political standpoint.Munculnya kebijakan pemerintahan Saudi Arabia yang membolehkan perempuan untuk berkendara sendiri akhir-akhir ini menjadi fenomena yang menarik untuk diteliti, sebab sebelumnya mereka melarang perempuan berkendara tanpa mahram. Semenjak diangkatnya putera mahkota Salman bin Abdul Aziz, pemerintahan Saudi tampil lebih dinamis dan moderat. Kebijakan baru ini diberlakukan untuk meningkatkan perkembangan negara dengan dan untuk memberikan hak terhadap perempuan agar dapat berperan bebas di dalamnya. Para pengamat melihat ini sebagai agenda politik pemerintahan, dimana dengan kepentingan politik tersebut diharapkan Saudi Arabia dapat ikut bersaing dalam kompetisi ekonomi global yang semakin ketat. Artikel ini mengamati kebijakan pemerintah Saudi Arabia ini secara menyeluruh dari sudut pandang sosial, ekonomi, dan politik.
KONTRIBUSI TEORI IBN AL-SHĀṬIR DALAM PERKEMBANGAN TRADISI ILMIAH ASTRONOMI ISLAM S Sakirman; Muslich Shabir
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 19, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (255.452 KB) | DOI: 10.21580/ihya.19.2.2161

Abstract

This paper traces the roots of the scientific tradition of astronomy in a classical century that marked the rise of Islamic civilization in the midst of Western darkness in a philosophical-historical perspective. The study focussed on translation activities in the eighth century to the peak of astronomical scientific activity that is divided into two major schools; the astronomical-mathematical school of the East and the astronomical-philosophical schools of the Western world to the Islamic Caliphate. The Greek astronomical tradition is basically dominated by Aristotelian thought that states that the universe is organized into a set of concentric spheres each carrying a star and spinning around the earth. The Earth is still and becomes the center of the universe. Ptolemy adopted the two basic principles of Aristotle, ie the earth dwells at the center of the universe and the motion of heavenly bodies must be represented by a set of perfectly uniform circular motions. From the results of historical studies on the development of Muslim astronomy in the classical century can be seen that the peak of scientific progress in the Western world can not be separated from the point of zenit for the advancement of science developed by Muslim scientists. Efforts made by Western scientists in enriching the astronomical treasury is inseparable from the step of translation through intensive scientific studies that gave birth to a variety of monumental works in the history of astronomy.Tulisan ini melacak akar tradisi ilmiah astronomi pada abad klasik yang menandai majunya peradaban Islam di tengah-tengah kegelapan Barat dalam perspektif historis-filosofis. Kajian difokuskan pada aktivitas penerjemahan pada abad kedelapan hingga puncak kegiatan ilmiah astronomis yang terbagi dalam dua mazhab besar; mazhab astronomis-matematis di Timur dan mazhab astronomis-filosofis di dunia Barat pada kekhalifahan Islam. Tradisi astronomi Yunani pada dasarnya didominasi pemikiran Aristotelian yang menyatakan bahwa alam semesta diatur menjadi satu set bola konsentris masing-masing membawa bintang dan berputar di sekitar bumi. Bumi berposisi diam dan menjadi pusat alam semesta. Ptolemeus mengadopsi kedua prinsip dasar Aristoteles tersebut, yaitu bumi diam di pusat alam semesta dan gerak benda-benda langit harus diwakili oleh satu set gerakan melingkar sempurna yang seragam. Dari hasil kajian historis atas perkembangan astronomi muslim pada abad klasik dapat diketahui bahwa puncak kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Barat tidak lepas dari titik zenit atas kemajuan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh ilmuwan Muslim. Upaya yang dilakukan ilmuwan Barat dalam memperkaya khazanah astronomi tidak terlepas dari langkah penerjemahan melalui pengkajian ilmiah yang intensif sehingga melahirkan berbagai karya-karya monumental dalam sejarah astronomi.
TAFSIRAN KIAI PESANTREN TERHADAP BAIT-BAIT ALFIYAH IBN MALIK DAN TRANSFORMASI NILAI MORAL SANTRI: Kajian Intertekstualitas dan Analisis Wacana Kritis Muhamad Jaeni
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 19, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (478.743 KB) | DOI: 10.21580/ihya.19.2.2510

Abstract

One of the most phenomenal grammatical books in Indonesian pesantren is Kitab Alfiyah Ibn Malik. The book was arranged in the form of poetry, which consists of 1002 poems. This book is studied with rote methods. Many santri are able to memorize a thousand poems. Uniquely, many kiai who often make that poem as a proposition of other sciences such as fiqh, tasawuf, and morals. This study focuses on the phenomenon of interpretation of the grammatical poems among Arab scholars and Islamic scholars in Indonesia. Besides this study also observes patterns and mechanisms interpreting Alfiyah poems as a linguistic study and constructing moral values santri in boarding school. This study used intertextual method and critical discourse analysis. The data are analyzed by Norman Fairlough’s content analysis and critical discourse. This study found that the book Alfiyah Ibn Malik taught in the boarding school not only memorized by the students but also interpreted by the kiai to the philosophical meaning. The interpretation of the kiai on Alfiyah's poems is very broadly encompassing religious values i.e. honesty, discipline, hard work, independence, creativity, democracy, homeland love, social concern, and responsibility.Salah satu buku gramatikal yang sangat fenomenal di pesantren Indonesia adalah kitab Alfiyah Ibn Malik. Kitab ini disusun dalam bentuk syair, yang terdiri dari 1002 sajak. Di pesantren Indonesia, kitab ini dikaji dengan motode hafalan. Banyak para santri yang mampu menghafal seribu sajak itu. Uniknya, banyak para kiai yang seringkali menjadikan sajak-sajak itu sebagai dalil dari ilmu-ilmu lain seperti fiqh, tasawuf, dan akhlak. Kajian ini mengamati fenomena tafsiran sajak-sajak gramatikal itu di kalangan ulama Arab dan kiai pesantren di Indonesia. Selain itu kajian ini juga mengamati pola dan mekanisme menafsirkan sajak-sajak Alfiyah sebagai kajian kebahasaan dan penanaman nilai-nilai moral santri di pondok pesantren. Metode yang digunakan meliputi metode intertekstual dan analisis wacana kritis. Adapun teknik analisis data yang yang digunakan adalah content analysis (analisis isi) dan analsis wacana (critical discourse) Norman Fairlough. Dari hasil peneltian ini ditemukan bahwa kitab Alfiyah Ibnu Malik yang diajarkan di pondok pesantren tidak hanya dihapal oleh para santri tapi juga ditafsirkan oleh para kiai kepada makna filosofis. Penafsiran para kiai atas sajak-sajak Alfiyah ini sangat luas mencakup nilai-nilai agama, kejujuran, kedisiplinan, kerja keras, kemandirian, kreativitas, demokrasi, cinta tanah air, kepedulian sosial dan tanggung jawab.
RELASI JINN DAN AL-INS DALAM AL-QUR’AN: Kajian Semantik Toshihiko Izutsu Zamzam Afandi; Ja’far Shodiq
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 19, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (667.908 KB) | DOI: 10.21580/ihya.19.2.2159

Abstract

The Qur’an often calls the word jinn coupled with the word al-ins as God’s creatures in different forms. Based on that, the author tried to unravel the problem by studying basically the words jinn and al-ins in the Qur’an and then linking both of them in Toshihiko Izutsu’s semantic theory. The study begins by searching for the basic meaning and relational meaning as the foundation for finding welthansauung or worldview of the word jinn and al-ins in the Qur'an. The study found that the word jinn in the Qur'an has a closed meaning, similar to the root of majnūn, jannah, and janīn. Likewise, the relational meaning of the jinn described in the Qur'an both relating to the ancients before the coming of Islam, the jinns are shaitan, ifrit, angels, superhuman beings, worshiped beings, demons, and the maker of misfortune someone. As for the basic meaning of the word al-ins, the same as insān, basyar, the sons of adam, ‘abd Allah, even al-ins as the representative word of man in the Qur'an can be interpreted shaitan as in surah al-nās which states that shaitan derived from the genie and the human race. The discussion of the ontological and communicative relations between jinn and al-ins in the Qur’an, it is mentioned that jinn and humans are truly God’s creatures created from different elements. These two creatures can establish communication because there is an explanation in the Qur’an, as it did in the time of Adam, Sulayman and Prophet Muhammad saw.Al-Qur’an kerap menyebut kata jinn bersanding dengan kata al-ins sebagai makhluk Allah yang berbeda wujud. Berangkat dari itu, peneliti mencoba mengurai permasalahannya dengan cara mengkaji secara dasar kata jinn dan al-ins dalam al-Qur’an dan kemudian mengkaitkan keduannya menggunakan teori semantik Toshihiko Izutsu. Kajian dimulai dengan mencari makna dasar dan makna relasional sebagai dasar menemukan welthansauung atau pandangan dunia terhadap kata jinn dan al-ins dalam al-Qur’an. Penelitian ini menemukan bahwa kata jinn dalam al-Qur’an mempunyai makna tertutup, sama dengan akar kata dari majnūn, jannah maupun janīn. Begitu juga tentang makna relasional terhadap jin yang dijelaskan dalam al-Qur’an baik yang berkaitan dengan orang-orang dahulu sebelum datangnya Islam, jin adalah syaitan, ifrit, malaikat, makhluk yang mempunyai kekuatan super, makhluk yang disembah, iblis, dan pembuat kesialan seseorang. Adapun makna dasar kata al-ins, sama seperi insān, basyar, bani adam, ‘abd Allah, bahkan al-ins sebagai kata yang mewakili manusia dalam al-Qur’an bisa diartikan syaitan seperti dalam suran al-nās yang menyatakan bahwa syaitan itu berasal dari golongan jin dan manusia. Pembahasaan tentang relasi ontologis dan komunikatif antara jinn dan al-ins dalam al-Qur’an, disebutkan bahwa jin dan manusia adalah benar-benar makhluk Allah yang diciptakan dari unsur yang berbeda. Kedua makhluk ini bisa menjalin komunikasi karena ada penjelasan dalam-al-Qur’an, seperti halnya yang terjadi pada zaman Nabi Adam, Nabi Sulaiman sampai Nabi Muhammad saw.

Page 1 of 2 | Total Record : 12